Pada awal tahun 1997, ketika saya masih bekerja di satu perusahaan konstruksi di Jakarta, saya ditelpon oleh satu teman lama saya "Eh, elu mau nggak sebagian jatah saham gue, harganya Rp750/lembar, buat elu gue kasih 50 lot deh..". Besoknya saya transfer sejumlah uang ke rekening teman saya itu. Selang seminggu kemudian dia menelepon kembali.. "Saham kita harganya sudah Rp1250 tuh, mau gue jualin nggak?" Saya mengiyakan. Telepon ditutup. Minggu depannya saya ditransfer sejumlah uang hampir senilai Rp1250 x 50 x 500. Beres.
Sebegitu mudahnya. Tanpa menganalisis. Tanpa membaca koran. Tanpa melihat monitor. Cuma bermodalkan kepercayaan. TRUST. titik.
Sampai tahun 1998 saya beberapa kali melakukan hal seperti di atas, tidak banyak, tidak lebih dari jumlah jari tangan.
Pada 1998 saya menetap di Bandung. Tentu ada teman2 baru. Dari beberapa teman itu saya mulai mengenal monitoring saham. Tapi saya belum terlalu mengerti. Saya percayakan saja sebagian tabungan saya untuk digabung dengan portofolio mereka. Puji Tuhan masih menguntungkan, meskipun tidak spektakuler seperti tahun sebelumnya.
Pada akhir 1999 saya kembali tinggal di daerah Jakarta. Saat itu saya memutuskan untuk selalu monitoring pergerakan saham. Kebetulan momennya bullish, jaman2 GusDur diangkat jadi Presiden.
Saya mendapatkan teman2 baru. Para trader. Monitoritis.
Saya jadi bersemangat melihat monitor pergerakan harga saham. Melakukan transaksi jual-beli. Indofood sampai PTRA. Telkom sampai SMMA. Sekitar satu bulan pertama…Easy money!
Masalah mulai timbul ketika ‘'buyback’' saham2 tsb pada harga beli pertama… dan selanjutnya tidak pernah ke atas lagi!!! (bullish is over).
Katakanlah seperti SMMA. Beli pertama 1600. Jual 1800-2000.
Setelah itu beli lagi di 1600. Beberapa bulan cut-loss di 1200. Buyback di 1000. Cut loss lagi di 800. Buy-back di 500. Cut-loss di 400…
SATU TAHUN AKTIF BERTRANSAKSI DAN MONITORING SAHAM, MODAL MENYUSUT HINGGA TINGGAL 10% !
(bersambung– melakukan right issue)