Ketangguhan saham perkebunan diuji
Koreksi harga CPO tidak ancam kinerja perusahaan besar
Krisis finansial telah memangkas harga minyak sawit mentah (CPO) separuh lebih dari posisi tertinggi. Namun, saham perkebunan di Indonesia masih kuat menahan koreksi bursa, dengan menguat 15% sepanjang tahun.
Padahal, pada kurun waktu yang sama, indeks harga saham gabungan (IHSG) terkoreksi 4,1% akibat sentimen negatif perlambatan ekonomi dunia.
Kuatnya indeks perkebunan itu tidak lepas dari kinerja saham emiten CPO yang menyumbang 80% bobot indeks sektoral. Saham-saham CPO menguat mengikuti kenaikan harga CPO di pasar Malaysia sepanjang tahun ini sebesar 12,5%.
Kemarin, harga kontrak CPO ditutup di level 1.905 ringgit per metrik ton, naik dari harga akhir tahun sebesar 1.694 ringgit. Meski naik sepanjang 2009, posisi itu masih ‘'defisit’' 55% dibandingkan dengan rekor harga tertinggi pada Maret 2008 sebesar 4.200 ringgit.
Di dalam laporan berjudul Asian Palm Oil Producers - Outlook 2009, perusahaan pemeringkat Fitch Ratings menilai produsen CPO skala besar lebih mampu menjaga profil finansialnya di tengah penurunan tajam harga CPO di pasar.
Sebaliknya, produsen CPO yang tidak memiliki profil umur tanaman yang kuat dan biaya produksi rendah, akan menjalani 2009 sebagai tahun yang penuh tantangan.
"Dalam menilai kualitas kredit para pemain di industri yang bersiklus ini, Fitch lebih memperhatikan profil umur tanaman dan biaya produksi ketimbang harga CPO," papar Direktur Tim Korporat Fitch Buddhika Piyasena dalam laporan yang dirilis Januari tersebut.
Berdasarkan penilaian tersebut, lanjutnya, para pemain lama bisnis CPO seperti IOI Corporation Berhad dan PT Ciliandra Perkasa meraih skor tinggi. Masing-masing meraih peringkat kredit BBB+ dengan prospek stabil dan BB- berprospek stabil.
Di tengah gelontoran investasi dan pembagian dividen pemegang saham pada 2 tahun terakhir, kedua perusahaan tersebut tercatat masih menjaga neraca keuangan yang kuat.
Perusahaan yang memiliki cadangan kas kuat bahkan berpotensi menggunakan situasi krisis sebagai kesempatan akuisisi, karena harga aset perkebunan terpuruk dalam mengikuti harga CPO.
Namun, Buddhika menggarisbawahi pentingnya faktor efisiensi mengingat beban produksi CPO telah meningkat signifikan sejak 2006 mengikuti kenaikan harga pupuk.
"Bagi perusahaan perkebunan yang efisien, biaya produksi akan berkisar 1.100 hingga 1.200 ringgit per metrik ton. Namun beban ini akan lebih tinggi bagi pemain kecil, terutama yang memiliki profil umur tanaman lebih rendah."
Saham murah
Dalam laporan terpisah, analis PT Credit Suisse Securities Indonesia Teddy Oetomo merekomendasikan saham perkebunan yang harganya masih tertinggal jauh dibandingkan dengan saham sektor sejenis.
Setelah membandingkan harga saham emiten perkebunan Indonesia dengan Malaysia dan Singapura, Teddy memilih mengalihkan pilihannya ke saham emiten Indonesia yang tercatat di Singapura yakni Indofood Agri Resources (IFAR).
"IFAR diperdagangkan pada posisi diskon dibandingkan dengan pesaingnya. Saham IFAR saat ini ditransaksikan dengan PER terendah 2009 di antara perusahaan CPO sejenis yang kami teliti," tuturnya dalam laporan riset pada Januari lalu.
Sebagai pendatang baru, saham IFAR baru tumbuh 5% dalam 2 bulan terakhir, kalah jauh dibandingkan dengan kenaikan saham sektor perkebunan yang diteliti, yakni rata-rata 18,5%.